APAKABAR NEWS – Musim durian tiba. The king of fruit ini mahal harganya. Sebutir bisa mencapai seratus ribu. Bahkan ada yang duarutus lima puluh ribu. Bagi penikmat durian, harga segitu memang biasa. Namanya juga rajanya buah.
Marjo baru saja beli durian di pinggir jalan. Penjual menawarkan Rp 120 ribu. Setelah tawar – menawar, deal di angka seratus ribu. Laki-laki pekerja pabrik itu bangga mampu beli buah itu. Ia membayangkan anak istrinya akan sangat gembira dirinya membawa oleh-oleh langka.
Untung tak dapat diraih malang tak dapat dihindar. Sampai rumah, ketika membuka buah itu baunya harum semerbak, enak sekali. Tetapi setalah dicicip. Waduuh, rasanya ambyar. Manis tidak, pahit bukan. Anyep njjejep. Akhirnya dibuang ke tempat sampah sambil mengumpat-ngumpat penjualnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Dasar bakul durian pembohong, sumpah tidak akan beli lagi !”
Jual beli seperti itu termasuk jual beli gharar. Yaitu, jenis jual beli di mana penjual dan pembeli tidak tahu kualitas barangnya. Unsur spekulasinya tinggi. Sehingga cenderung merugikan salah satu pihak.
Dalam fikih, biasa dicontohkan dengan jual beli ijon. Seperti, membeli mangga di pohon, padahal masih kruntil (anak mangga). Atau membeli anak sapi padahal masih di kandungan induknya. Penjual dan pembeli sama-sama buta terhadap barang yang diperjualbelikan.
Abdullah bin Muhammad At Tayar dalam kitabnya, Al Fiqh Al Muyassar Qismu Al Mu’amalah menyebutkan, bahwa syarat barang yang dijual belikan itu ada enam. Salah satunya adalah barang tersebut diketahui kualitasnya oleh penjual maupun pembeli. Jika tidak maka termasuk gharar.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya