APAKABAR BOGOR – Law enforcement di Indonesia dapat diibaratkan bagai menegakan benang basah. Berbagai persoalan, terutama praktik korupsi menjadikan penegakan hukum hanya slogan dan pidato kosong belaka.
Secara realitas di lapangan menunjukkan hukum bukan lagi keadilan, tetapi hukum telah menjadi barang mahal karena identik dengan uang.
Akhirnya pengadilan dapat diibaratkan seperti balai lelang. Siapa yang menang tergantung jumlah penawaran.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pemenangnya tentu saja adalah yang mampu memberikan penawaran tertinggi. Bahkan tak urung pengadilan malah melebihi balai lelang.
Kalau penawaran dalam lelang dilakukan secara tertutup, di pengadilan tawar menawar dilakukan dalam sidang terbuka.
Baru-baru ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengumumkan hasil Operasi Tangkap Tangan dan menetapkan sepuluh orang tersangka terkait adanya dugaan suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung.
Mereka adalah SD seorang Hakim Agung, ETP seorang Hakim Yudisial atau Panitera Pengganti, empat orang Pegawai Negeri Sipil pada lingkungan Mahkamah Agung.
TYP dan ES Pengacara, dan dua orang Debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana berinisial HT, dan IDKS menjadi tersangka tindak pidana korupsi gratifikasi atau pemberian suap dengan barang bukti berupa uang yang telah diamankan sejumlah 205.000 dolar Singapura dan 50 juta rupiah.
Melihat realitas penegakan hukum yang masih kental dengan praktik transaksional berupa suap-menyuap dilingkungan peradilan tersebut menunjukkan bahwa betapa masih rendahnya integritas dan moralitas para oknum penegak hukum itu sendiri, terutama mereka yang diduga terlibat secara langsung sebagai “Mafia Hukum” demi meraup keuntungan pribadi dan kepuasan klien.
Mafia hukum ini bekerja sebagai jejaring yang mengatur dan memperdagangkan perkara serta sampai pada menentukan bentuk putusan. Artinya, nasib keadilan ditentukan dengan paradigma bagaimana mafia hukum berpikir tentang keputusan hukum.
Baca Juga:
Permohonan Maaf & Janji 10 Hari Buktikan Hak Penggunaan Gedung Graha Wartawan
PDAM TIRTA KAHURIPAN KABUPATEN BOGOR Mengucapkan Selamat Hari KORPRI ke-53
Padahal salah seorang Tersangka OTT KPK berinisial TYP dalam sebuah buku yang pernah ia tuliskan sendiri, mengurai bahwa secara konsepsional, karakteristik negara hukum ditandai oleh realisasi kedaulatan hukum, supremasi hukum, kemerdekaan kekuasaan kehakiman, imparsialitas, dan integritas unsur-unsur sistem kekuasaan kehakiman.
Dalam konteks ini, institusi Kepolisian, Kejaksaan, Advokat, dan Kehakiman merupakan pilar penting yang menentukan wajah keadilan.
Meski semua institusi negara mengalami kerusakan, namun selama institusi penegak hukum itu masih dalam jalur yang tepat, maka masih ada harapan bahwa keadilan akan diperoleh.
Sebaliknya, seandainya semua institusi negara baik tetapi institusi Kepolisian, Kejaksaan, Advokat, dan Kehakiman rusak, maka jangan berharap keadilan akan didapat.
Baca Juga:
Konservasi Gajah di Aceh, Presiden Prabowo Subianto Sumbang Lahan Pribadi Seluas 20 Ribu Hektar
Kolaborasi Pengelolaan Pajak Mblb &Opsen Pajak Mblb Di Kabupaten Bogor
Paradigma kritis dan idealisme serta semangat akan perubahan yang selama ini dimiliki oleh TYP tersebut tentu sangatlah bertolak belakang dengan perilakunya sebagai seorang Advokat yang kini justru diduga malah ikut terjerumus kedalam pusaran “Mafia Hukum” yang menentukan nasib keadilan dengan menggunakan cara jual-beli putusan dengan pola pendekatan transaksional.
Hal semacam ini tentunya sangat menciderai prinsip negara hukum, keadilan, dan merusak moralitas profesi Advokat sebagai salah satu pilar penegak hukum di Indonesia.
Kalau realitas penegakan hukum di Indonesia terus terjadi demikian, kemana kita bisa berpaling? Kalau Pemerintah, khususnya Mahkamah Agung selaku pemegang otoritas tertinggi dalam menjalankan kekuasaan kehakiman tidak menunjukkan Political Will, kepada siapa lagi kita berharap? Rasanya tidak ada jalan selain kepada diri kita sendiri, dan kepada publik yang masih peduli dengan bobroknya peradilan.
Inisiatif reformasi perubahan, ada di tangan rakyat. Nemun demikian, bukan perkara mudah untuk membangun gerakan “bersih-bersih” peradilan. Resistensi dari dalam: Hakim, Panitera, Jaksa, Polisi, dan Pengacara, juga sangat kuat.
Sementara pada yang bersamaan, tidak banyak kelompok masyarakat maupun organisasi non-pemerintah yang menaruh perhatian serius dalam masalah tersebut.
Disclaimer :
Penulis adalah Direktur Eksekutif LBH Lintas Nusantara. Tulisan ini adalah pandangan pribadi dari penulis dan tidak mewakili lembaga.