APAKABAR BOGOR – Kian disorot berbagai elemen elitis. Bahkan, kian banyak pula yang menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Itulah presidential threshold (PT) yang mensyaratkan batas minimal 20% pemilik kursi DPR RI atau 25% suara hasil pemilihan legislatif secara nasional. Sebuah ketentuan yang harus dipenuhi oleh partai atau gabungan partai politik pengusung calon pasangan presiden.
Prasyarat baku yang diterapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) susuai Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 itu terus menuai reaksi dari berbagai elemen publik, dari komponen partai non seat (tidak memiliki kursi di DPR RI), kalangan cendekiawan hukum yang sangat memahami landasan filosofisnya bahkan dari kalangan tokoh non-parpol, termasuk dari para “senator” DPD RI. Suara seirama: PT tersebut melenceng dari prinsip demokrasi, bahkan konstiusi kita sendiri (UUD 1945).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam perspektf demokrasi dan konstitusi kita, seluruh warga negara sama di hadapan hukum dan politik. Sistem demokrasi dan konstitusi kita tak mengenal sistem kelas. Karena itu, sejatinya tak boleh diterapkan ketentuan yang berebelkan parpol atau nonparpol dari anasir manapun. Haknya sama: bukan hanya memilih, tapi juga dipilih sebagai calon presiden (capres). Selagi ia mumpuni, punya kemauan kuat untuk memberikan yang terbaik bagi kepentingan bangsa dan negara, juga dikehendaki banyak pihak, maka – secara prinsip – sungguh tidaklah demokratis bahkan inkonstitusional ketentuan yang melarang seorang warga negara untuk dipilih sebagai capres.
Perlu kita catat, Pasal 222 No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu – dalam perspektif perundang-undangan, setidaknya menurut para perumusnya – merupakan jabaran operasional dari Pasal 6A Ayat 2 UUD 1945. Sementara, jika kita telusuri risalah pembahasan perundang-undangan di MPR terkait Pasal 6A Ayat 2 itu sama sekali tidak bicara persyaratan PT. Para ahli hukum tata negara menilai, PT sengaja “diselundupkan” oleh kekuatan partai politik yang ada di DPR. Untuk mencegah – atau tepatnya menghalangi – kekuatan elemen nonparpol atau parpol-parpol non seat yang ingin melangkah ke kontetasi kepresidenan. Dalam kaitan itu, setidaknya, kita dapat mencatat beberapa hal.
Pertama, Pasal 6A Ayat 2 UUD 1945 itu sendiri sesungguhnya “cacat” secara HAM. Kita tahu, seluruh warga negara ini memiliki kedudukan yang sama di mata hukum. Karenanya tidak boleh diperlakukan secara diskriminatif. Sementara, Pasal 6A Ayat 2 UUD 1945 itu – secara eksplisit – menegaskan ketentuan parpol dan atau gabungan parpol yang bisa mengusung capres. Sebuah pertanyaaan mendasar, apakah seluruh warga negara ini pasti berminat ke panggung partai politik? Adalah hak setiap individu untuk bergabung atau tidak ke dalam partai politik. Mereka berhak menilai dan menentukan sikap politiknya. Hak asasi ini – sekali lagi – harus dihormati dan tak boleh dikangkangi untuk perhelatan apapun, termasuk dalam panggung pemilihan presiden (pilpres).
Eksistensi Pasal 6A Ayat 2 UUD 1945 itu selayaknya diamandemen. Diubah bunyi pasalnya. Arahnya jelas: harus mampu mengakomodir kekuatan lain selain parpol. Agar terjadi serapan kandidat dari anasir manapun. Yang penting untuk kepentingan negeri dan bangsa ini jauh lebih demokratis dan bisa diharap output politiknya, yakni pemimpin yang mampu membawa negeri ini jauh lebih sejahtera, berdaulat, berkeadilan, berkemajuan dan bermartabat di dalam ataupun di luar (dunia internasional). Sayangnya, jika kita cermati dinamika politik di parlemen, menampak jelas: fraksi-fraksi besar di MPR enggan bahkan menolak keras untuk mengamandemen Pasal 6A Ayat 2 UUD 1945, kecuali DPD RI. Itulah potret parlemen kini, yang memang tidak responsif terhadap dinamika tuntutan yang berkembang di tengah masyarakat.
Kedua, eksistensi Pasal 6A Ayat 2 UUD 1945 – secara langsung atau tidak – juga menggambarkan keenggenan bahkan ketidaksiapan parpol, terutama parpol-parpol besar – untuk berkompetisi secara terbuka dengan berbagai kekuatan strategis yang siap maju ke kontestasi pilpres. (#)