Tensi Politik Jelang Pemilu Semakin Memanas, Perlu Kesantunan dalam Berdemokrasi

by -158 views

Jakarta. lintasBogor.Com.-catatan Dr. Suriyanto PD. SH, MH, M.Kn
Pemilu tinggal menghitung hari. Tensi politik pun kian memanas. Memanasnya suhu politik, tak lepas dari upaya-upaya para elit untuk mencuri hati rakyat.

Kontestasi politik tahun ini lebih panas daripada tahun-tahun sebelumnya. Sebagai bagian dari proses demokrasi, kerasnya persaingan politik bukan hanya antar elit namun juga mengalir ke akar rumput. Kondisi ini harus disikapi dengan jernih, agar tidak sampai melampaui batas.

Sebagai anak bangsa, yang mencintai negeri ini, saya mengelus dada, dimana beberapa hari lalu, ada tokoh politik yang membuat statement di media sosial yang tidak sepatutnya, saling sindir, saling serang yang jauh dari nilai-nilai budaya dan esensi demokrasi itu sendiri.

Dalam kontestasi politik [Pemilu] setiap orang mempunyai pilihan masing-masing. Semua orang mempunyai argumentasi dan penilaiannya masing-masing, terkait pilihannya.

Sebagai proses-proses politik akan ada pilihan dan pasti akan ada perbedaan pilihan. Perbedaan partai politik, perbedaan pilihan tidak bisa dihindari. Cara terbaik dalam menyikapi adanya banyak perbedaan, adalah menghormati perbedaan pilihan. Kita tidak boleh menghina pilihan orang lain. Kita tidak boleh merendahkan pilihan orang lain, karena setiap orang memilih dengan hati nuraninya, memilih dengan argumentasinya.

Apalagi, asas dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia Luber dan Jurdil.
Luber adalah langsung, umum, bebas, dan rahasia. Sedangkan Jurdil adalah Jujur dan Adil.

Hal itu berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1999, asas-asas pemilu memiliki maksud dan tujuan tertentu.

Namun, yang sangat disayangkan, para elit, lupa asas pemilu, lupa esensi dalam berdemokrasi.
Kemerdekaan bangsa yang disertai dengan kebebasan dan demokrasi yang terus berkembang di negeri ini, ternyata memiliki sisi negative yang akan semakin menjadi persoalan, bila tidak segera disadari oleh semua komponen bangsa ini.

Ekses yang paling terasa adalah dalam kehidupan berpolitik bangsa ini.
Dalam pencarian bentuknya, politik di negeri ini dipenuhi dengan bahaya yang bisa dan kadang di setiap saat. Bahaya terbesar akibat proses dalam pencarian bentuk dalam politik itu adalah perpecahan di masyarakat.

Kita bisa melihat wajah media sosial kita, dihiasi dengan berbagai hujatan atas ketidak sepahaman cara pandang dalam melihat sesuatu, karena perbedaan pilihan politik.

Pelaku politik sering menggunakan kondisi masyarakat yang rapuh dan rawan pengaruh untuk keuntungan dan kepentingan politiknya. Kerapuhan rakyat yang tanpa disadari akan semakin menjadi bencana saat pengaruh para petualang politik masuk dalam kehidupan mereka.
Sejarah mencatat banyak terjadi pengkhianatan saat bangsa ini memperjuangkan kemerdekaannya.

Pengkhianat yang dengan bangganya diperbudak penjajah untuk melawan negerinya sendiri, sekedar demi lembaran uang dan mimpi jabatan.
Saya teringat apa yang pernah dikatakan Bung Karno di masa lalu,” Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri,”
Melawan bangsa sendiri, bukanlah memusuhi bangsa sendiri dalam arti sebenarnya.

Tantangan melawan bangsa sendiri adalah bagaimana negara dan para pemimpin harus memenuhi aspirasi rakyat dan membawa bangsa ini menuju masa depan yang lebih baik. Tantangan itu semakin berat di tengah bangsa ini sedang mencari bentuknya dalam berkehidupan politik.

Politik berbudaya apakah mungkin bisa ditegakkan di negeri ini? Menurut saya, sangat mungkin. Namun, kita harus mampu merekonstruksi pemikiran dan komitmen kita atas keberlangsungan bangsa ini. Diperlukan kesadaran bersama, karena pada dasarnya manusia adalah makhluk yang bermartabat.
Politik yang sebaik-baiknya adalah politik yang berbudaya, budhi daya dan bermartabat, dimana kekuasaan dan tahta yang dibawa membawa kemuliaan manusia dan Sang Pencipta.

Bila bangsa ini tidak ingin carut marut, sudah saatnya kita kembali kepada politik yang berbudaya, karena politik yang berbudaya, akan sanggup menggeser dominasi politik identitas yang saat ini marak di tanah air. Politik identitas selalu dikaitkan dengan etnisitas, agama, idiologi, dan kepentingan-kepentingan lokal yang umumnya diwakili para elit politik dengan artikulasinya masing-masing.
Sudah saatnya kita kembali kepada jati diri kita sebagai bangsa yang berbudaya.

Dan, yang bisa kita lakukan adalah membangun budaya politik yang sesuai dengan peradaban kita sebagai bangsa Indonesia yang berkarakter.

Ukuran baik buruk, benar salah, pantas tidak pantas dalam budaya demokrasi kita, tentu berbeda dengan negara lain, atau bangsa-bangsa lain.

*) Praktisi Hukum