Lintasbogor.com Sepanjang sejarah peradaban Islam, semenjak era keemasan ilmu pengetahuan, terutama ilmu kedokteran yang dipelopori Ar-Razi (854-925), Az-Zahrawi (936-1013), Ibnu Sina (980-1037) dan sebagainya, tindakan inokulasi (metode imunisasi awal dengan memasukkan mucus dari penderita wabah ke bawah kulit pasien imunisasi untuk menghasilkan antibodi) sudah dikenal luas dalam rangka langkah preventif terhadap wabah.

Dalam berbagai kitab tibb (kesehatan), bab inokulasi selalu dibuka dengan hadis Rasulullah tentang lalat yang masuk ke gelas. Karena di sana terdapat pesan tentang eksistensi antibodi hewan pembawa kuman sehingga tidak tertular oleh penyakit dari kuman tersebut. Hal ini menjadi inspirasi para dokter di masa itu untuk mengembangkan berbagai metode dalam menghadapi wabah dengan membangkitkan antibodi yang salah satunya adalah inokulasi.
Hingga di zaman Dinasti Utsmaniyah Turki di abad ke-18, praktik inokulasi umum dilakukan oleh para dokter di sana. Imunisasi suatu hal yang sangat umum dan biasa dalam keseharian, tidak ada yang istimewa. Termasuk inokulasi bagi kaum wanita yang biasa dilakukan di hamam (tempat pemandian umum) oleh para dokter atau perawat perempuan.
Dr. Rifat Osman mengatakan bahwa di sepanjang tahun di Kota Edirne dilakukan tindakan inokulasi untuk penyakit cacar yang disebut variolasi. Pada hari pelaksanaan inokulasi, hamam dihias dengan bunga mawar, jamuan makanan dan minuman digelar dan terdapat gadis-gadis penyanyi yang menghibur dengan suaranya. Lalu praktisi inokulasi melakukan tindakan dengan mucus yang diletakkan dalam daun ara, bekas sayatan ditutup dengan daun mawar yang telah direndam air mawar. Para penyanyi menyanyikan lirik sebagai berikut: “Semoga si kecil menjadi mawar, semoga burung bulbul bernyanyi di atas mawar.”
Kesuksesan inokulasi di abad ke-18 Utsmaniyah ini, menarik perhatian istri duta besar Inggris untuk Utsmani yang bernama Lady Mary Wortley Montagu (1689-1762). Ia bersama saudaranya pernah terkena wabah cacar yang menyebabkan saudaranya wafat dan di tubuh Lady Mary tertinggal bekas cacar. Ia sangat terheran-heran dengan penduduk Kota Edirne yang walau pernah dilanda wabah cacar tapi tidak membahayakan apalagi meninggalkan bekas pada tubuh seseorang. Ia menulis surat kepada temannya sebagai berikut:
“Cacar yang sangat fatal dan umum di kalangan kita di Inggris, di sini tidaklah membahayakan berkat praktik inokulasi. Di musim gugur, keluarga-keluarga memanggil praktisi inokulasi dan mereka melakukan tindakan inokulasi dengan memasukkan mucus penderita cacar pada sayatan pada tubuh pasien lalu membalutnya dengan kulit sejenis kacang-kacangan. Anak-anak akan mengalami demam selama 8 hari dan mengalami gejala seperti penderita cacar seperti bintil-bintil kecil di wajah namun tidak berbekas. Tidak ada kasus orang meninggal karena tindakan ini. Melihat hal tersebut saya teryakini untuk melakukan tindakan yang sama kepada anakku. Saya bertekad untuk membawa ini ke Inggris.”
Setelah pulang ke Inggris, ia mempromosikan inokulasi, imunisasi Utsmani, ini kepada para dokter di London. Ketika wabah cacar melanda di London, ia melakukan inokulasi kepada anak perempuannya yang berusia 4 tahun di depan para dokter kerajaan. Lalu pada 20 Agustus 1721, para dokter kerajaan melakukan tes kepada 6 penghuni penjara Newgate yang ketika terjadi wabah cacar, ke-6 narapidana tersebut tidak mengalami apapun. Semenjak itu para bangsawan, tokoh-tokoh penting dan politisi menginokulasi anak-anak mereka. Pada tahun 1722, 2 orang pangeran di istana kerajaan menerima tindakan inokulasi.
Semenjak itu, inokulasi Utsmani yang merupakan bagian dari sejarah panjang ilmu kedokteran peradaban Islam menyebar di Eropa.
Hingga pada tahun 1796, seseorang bernama Edward Jenner (1749-1823) yang mendalami inokulasi Utsmani ini, menemukan metode imunisasi menggunakan mucus cacar sapi yang dikenal dengan sebutan Vaksinasi hingga hari ini. Hingga di kemudian hari metode sayatan di bawah kulit pun juga diganti dengan ditemukannya jarum suntik yang lebih mudah.
Sumber: Irvan Pani MappasengDitulis oleh: Irvan Pani Mappaseng
Editor : Adi